Ketika ada sahabat yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam minta obat untuk saudaranya yang sakit perut, Nabi memberinya madu. Hingga tiga kali sahabat ini datang karena saudaranya belum juga sembuh, Nabi tetap memberinya madu. Ketika sahabat ini mulai ragu karena sakit perut saudaranya tidak kunjung sembuh, Nabi menguatkan imannya dengan “…Allah pasti benar, perut saudaramu yang bohong…”. Dan setelah terapi madu ini diteruskan - saudaranya memang sembuh, begitulah antara lain iman itu senantiasa diuji.
Allah menjanjikan madu itu sebagai obat (QS 16:69) – Dia Yang Maha Tahu dan Dia pula yang bisa menyembuhkan penyakit, pastilah janjinya benar – bahkan ketika perut kita mengatakan sebaliknya. Maka benar apa yang dikatakan oleh Siti Aisyah, istri Nabi dan putri dari sahabat terbaik Nabi : “ …seorang tidak bisa dikatakan benar-benar beriman, sampai dia lebih percaya kepada Allah melebihi apa yang ada di genggaman tangannya, melebihi apa yang bisa dilihat (oleh matanya) di genggaman tangannya…”.
Bahkan Allah sendiri yang memberitahu kita bahwa iman kita pasti diuji : “ Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan : “Kami telah beriman” dan mereka tidak diuji ?” (QS 29:2)
Bila tidak ada ujian, maka tidak bisa diketahui siapa yang lulus dan siapa yang tidak – hanya dengan melalui berbagai ujian akan bisa diketahui siapa yang akan lulus dari siapa yang tidak. Dan ujian biasanya baru muncul ketika kita berusaha naik kelas, kalau puas di kelas yang ada atau bahkan turun kelas semua orang juga bisa karena tidak perlu ujian.
Rangkaian ujian-ujian inilah yang barangkali belum berhasil kita lalui yang membuat negeri ini memiliki ketahanan pangan yang lemah misalnya. Allah menjanjikan berkah dari langit dan dari bumi, jika sekiranya penduduk negeri ini beriman dan bertakwa (QS 7:96) – bila kenyataannya tidak demikian, maka bukan janji Allah yang tidak benar tetapi syaratnya yang belum kita penuhi.
Lantas bagaimana kita bisa rame-rame naik kelas menjadi penduduk negeri yang beriman dan bertakwa – sehingga berlaku janji Allah akan keberkahan dari langit dan dari bumi ? ya caranya mau melalui ujian rame-rame, sampai sebagian besar nantinya bisa lulus.
Saya tidak memberi contoh soal ujian yang berat-berat seperti penegakan syariat Islam dlsb. Kita mulai yang sederhana saja dahulu, baru secara bertahap nanti ke tingkat yang lebih sulit dan seterusnya. Saya mulai dari contoh yang sederhana tentang makanan makanan kita misalnya, Kita divonis oleh Allah belum melaksanakan perintahNya (QS 80:23), maka kita disuruh memperhatikan makanan kita (QS 80:24). Gara-gara kita tidak memperhatikan makanan kita ini, tahun lalu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memvonis 12 perusahaan ayam melakukan kartel.
Mengapa urusan ayam – yang merupakan sumber protein hewani terbesar – dari 260 juta penduduk ini , hanya dikuasai mayoritasnya oleh segelintir pemain tersebut di atas ? Tidak sepenuhnya salah mereka, sebagiannya juga karena salah kita. Kesalahan kita adalah kita diam dan membiarkan itu terjadi, kita tidak melaksanakan perintahNya di rangkaian ayat 23-24 dari surat ‘Abasa tersebut di atas.
Pertanyaan berikutnya adalah mengapa kita lebih banyak diam ? ya karena beratnya ujian yang akan kita tempuh bahkan ketika kita mau mulai mengamalkan perintahNya tentang makanan ini saja, itulah sebabnya mayoritas kita tidak naik kelas – lha wong ikut ujian saja tidak mau, mayoritas kita tidak mau memperhatikan makanan kita maka makanan kita dikuasakan ke orang lain.
Kalau kita berusaha mengamalkan perintahNya yang satu ini saja sebagai proses pembelajaran pengamalan iman, insyaAllah kita sudah akan bisa terbebas dari cengekaraman kartel ayam.
Tetapi untuk mengamalkan yang inipun – jangan dikira itu mudah – karena kita pasti diuji seperti janjiNya tersebut di atas. Ketika kami mencoba menanam biiji-bijian (QS 80:27), kemudian juga menggunakan sebagiannya untuk pakan ternak kita (QS 32:27) agar diperoleh pakan ternak yang murah – tidak serta merta ini bisa langsung jalan di lapangan.
Tanaman biji-bijian kita diserang berbagai hama mulai dari burung sampai tikus, ketika sudah panen dan ditumbuhkan menjadi fodder-pun tidak serta merta ternak kita baik kambing, domba maupun ayam langsung doyan. Ujian yang seperti inipun sudah akan cukup untuk menghentikan mayoritas upaya kita dari terus ‘memperhatikan makanan kita’ seperti yang diperintahkanNya tersebut di atas. Itulah sebabnya pula sekian ratus orang belajar berternak dan bertani bareng kami selama delapan tahun terakhir, amat sangat sedikit yang terus istiqomah mengamalkannya – karena yang dihadapi di “…genggaman tangannya – yang dilihat oleh matanya…” adalah berbeda dengan janji-janji Allah tersebut di atas.
Kalau saja kita bisa belajar dari sahabat Nabi yang terus mengobati saudaranya dengan madu, kalau saja kita bisa belajar dari Siti Aisyah yaitu lebih percaya kepada Allah dari apa yang ada di genggaman dan bisa dilihatnya – maka insyaAllah kitapun akan bisa sampai seperti yang dijanjikanNya – entah kapan ! Saat itu insyaallah kita akan memenuhi standar iman dan takwa, sehingga berlaku janjiNya – yaitu dilimpahkanNya berkah dari langit dan dari bumi. Contoh konkritnya seperti apa ?
Kembali ke contoh ayam di atas, karena penguasaan bibit ayam dan pakannya ada pada orang lain – beternak ayam bagi rakyat adalah sesuatu yang sangat berat. Bibit dibeli mereka dengan harga di kisaran Rp 4,000 – Rp 6,000,-, dan pakanpun dibeli dari sumber-sumber yang kurang lebih sama karakternya di kisaran Rp 6,000,- s/d Rp 7,000 tergantung lokasi.
Satu ekor ayam membutuhkan pakan sekitar 3 kali berat badannya dari lahir sampai dipanen. Jadi kalau pakannya saja Rp 6,000,- s/d Rp 7,000,- , maka untuk ongkos pakan saja sudah sampai Rp 18,000 s/d 21,000 per ekor ayam. Ditambah bibit dan ongkos tenaga kerja, ayam pedaging harganya sekitar Rp 35,000 di tingkat peternak; telur di kisaran Rp 17,000 /kg untuk BEP.
Nah sekarang bagaimana kita bisa membebaskan diri dari kartel ayam tersebut dengan pengamalan perintahNya untuk memperhatikan makanan kita (QS 80:24) ?, kalau kita mulai menanam biji-bijian sendiri (QS 80:27) – cost produksi biji bijian seperti sorghum atau jagung misalnya, itu sekitar Rp 2,500/kg. Bila kita jual ke peternak dengan margin 20 % misalnya, maka harga biji-bijian yang kita tanam sendiri di sekitar lokasi peternak – itu hanya Rp 3,000,-. Ini kurang dari separuh dari harga pakan pabrik di atas.
Kita lanjutkan exercise kita, biji-bijian tersebut tidak langsung kita kasihkan ke ternak ayam kita. Kita kecambahkan dahulu, maka minimal per kg biji-bijian dapat menghasilkan 3 kg pakan berupa kecambah. Bukan hanya beratnya bertambah, biji-bijian yang dikecambahkan juga meningkat nutrisinya. Protein bertambah, serat bertambah, kwalita nutrisi secara keseluruhan lebih mudah diserap oleh tubuh si ayam – walhasil kwalitas daging maupun telur insyaallah juga meningkat.
Lebih dari itu biaya pakan per kg-nya tinggal Rp 3,000 (harga berupa biji) dibagi tiga yaitu tinggal Rp 1,000/kg (setelah menjadi kecambah). Bila ayam sampai dipanen butuh waktu lebih lama sekalipun – misalnya menjadi butuh pakan 4 kali dari berat badannya ketika panen, maka ongkos pakan dari lahir sampai panen hanya Rp 4,000,-. Setelah ditambah biaya bibit , tenaga kerja dlsb. harga ayam di tingkat peternak bisa turun tinggal Rp 25,000 dan peternaknya masih untung lebih besar. Harga telur tinggal Rp 10,000 dan peternaknya juga masih untung lebih besar pula.
Inilah bentuk keberkahan itu, keberkahan bukan zero-sumgame dimana bila ada yang untung - pasti ada yang dirugikan. Bila bumi ini berkah, maka petani untung para konsumen-pun juga untung – secara keseluruhan penduduk negeri ini akan diuntungkan.Lalu mengapa kita tidak berusaha sekuat tenaga untuk mencapai keberkahan dari langit dan dari bumi dengan meningkatkan keimanan dan ketakwaan ? jawabannya adalah karena ketika kita menuju kesana, ujian demi ujian akan berdatangan silih berganti. Siapkah kita untuk diuji ? Wa Allahu A’lam. (Muhaimin Iqbal, BOS Geraidinar)
Kekuatan kita tidak terletak dari besarnya modal, namun dengan kebersamaan, apabila dapat menilai seberapa besar kapasitas anda untuk dapat berkolaborasi dalam menggalang kebersamaan silahkan pertimbangkan, pratinjau.
Dengan menggalang kekuatan berdagang ini diharapkan umat muslim dapat mengelola pasarnya sendiri dan dapat membebaskan diri dari riba. Apakan kita akan berdiam diri setelah memahami dampak buruk riba seterang siang hari. Setelah datang petunjukNya yang begitu jelas, apakah kita hendak melanggengkan sistem ribawi dalam pengelolaan ekonomi kita ?
Artikel terkait : Riba yang mengambil makanan kita
No comments:
Post a Comment