Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan
kaum Muhajirin hijrah ke Madinah, ekonomi masyarakat Madinah berada dalam
cengkeraman kaum Yahudi. Mereka menguasai perdagangan
antar kota/negara, pertanian, perdagangan pakaian, tenun, perdagangan emas
lengkap dengan industri kerajinan dari emas maupun besi. Yang lebih-lebih
mencekik penduduk sampai para pemuka masyarakat Madinah adalah industri
keuangan mereka saat itu – yaitu peminjaman uang dengan bunga/riba yang sangat
tinggi. Sounds familiar isn’t it ? (GeraiDinar)
Tentu saja kondisi tersebut familiar dengan
kita yang hidup dijaman ini, lha wong apa yang terjadi di
Madinah pra Hijrah tersebut memang sangat mirip dengan system ekonomi yang kita
hadapi saat ini. Bedanya saat itu Yahudi hadir secara fisik di Madinah dan
mencengkeram penduduknya dengan kekuatan ekonomi mereka.
Sedangkan kita di negeri ini
saat ini, bukan Yahudi fisik yang mencengkeram kita – cukup systemnya saja yang
di-adopt di sana-sini – maka itupun cukup untuk menyandra ekonomi
kita dalam genggaman ‘system’ mereka. Kemiripan situasai Madinah pra Hijrah
tersebut dengan situasi kita saat ini dapat saya sarikan dari penjelasannya
Abul A’la Al-Maududi dalam The Meaning of the Qur’an sebagai
berikut :
“Secara ekonomi orang Yahudi
jauh lebih kuat dari orang-orang Arab (Madinah pra Hijrah). Mereka datang dari
negeri yang lebih maju dari sisi budaya seperti Palestina dan Syria, mereka
mengetahui banyak ketrampilan yang saat itu belum dikuasai oleh penduduk
Madinah.
Mereka menguasai perdagangan
dengan dunia luar, mereka bisa mendatangkan biji-bijian ke Yathrib
dan Hijaz , juga mengekspor kurma kering ke negeri-negeri lainnya.
Peternakan unggas dan perikanan
juga mereka kuasai, demikian pula dengan per-tenun-an. Mereka menguasai
perdagangan emas serta kerajinannya, juga kerajinan besi.
Dari semua ini ini Yahudi
memperoleh keuntungan yang sangat tinggi, namun lebih dari itu – pekerjaan
utama merekalah yang paling menjerat masyarakat Arab Madinah dan sekitarnya.
Pekerjaan utama mereka ini adalah meminjamkan uang dengan bunga yang sangat
tinggi.
Para kepala suku dan tetua
Arab-pun hidup dalam kemegahan – dengan uang pinjaman Yahudi yang penuh dengan
bunga berbunga - yang tentu saja menjadi sangat sulit diselesaikan.”
Kondisi ini masih berlangsung
sampai beberapa saat pasca Hijrahnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan
kaum Muhajirin ke Madinah. Puncaknya ada dua kejadian yang kemudian menjadi
titik balik penguasaan Ekonomi di Madinah.
Kejadian pertama adalah pasca
perang Badr ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengunjungi pasar terbesar
di Madinah saat itu yaitu pasarnya Bani Qainuqa’; Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam diejek mereka dengan ucapan mereka : “ Wahai Muhammad, jangan
tertipu dengan kemenanganmu, karena itu (perang Badar) lawan orang yang tidak
berengalaman dalam perang, maka kamu bisa unggul karenanya. Tetapi demi Tuhan,
bila kami berperang dengan engkau maka engkau akan tahu bahwa kamilah yang
perlu engkau takuti”. (Dikutip dari Buku Muhammad, karya Abu Bakr Siraj
al-Din).
Kejadian kedua
adalah ketika seorang wanita Muslimah dilecehkan di pasar Bani Qainuqa’ yang
sama. Akibatnya terjadi perkelahian yang hebat antara Yahudi
dan Muslim yang membantu wanita tersebut. Kejadian inilah yang
berujung pada pengusiran Bani Qainuqa’ dari Madinah.
Kedzaliman ekonomi di pasar
yang dikuasai oleh (system) Yahudi yang juga berujung pada pelecehan
harga diri kaum muslimin seperti in tentu tidak bisa dibiarkan berlama-lama,
maka waktunyalah kaum muslimin juga berjaya di pasar. Tetapi bagaimana caranya
?
Cara terbaiknya tentu juga
mengikuti persis yang dilakukan oleh Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan para sahabatnya dari kaum Muhajirin maupun
Anshar. Bagaimana dibawah kepemimpinan dan tauladan dari beliau, posisi kaum
Muslimin bisa berbalik 180 derajat. Dari orang Arab yang semula lemah dan terbelenggu
ekonomi dhalim dan ribawinya Yahudi, menjadi orang-orang yang perkasa bukan
hanya di medan perang tetapi juga di lapangan ekonomi.
Minimal ada dua hal yang sangat
relevan untuk kita contoh di jaman ini yang insyaAllah juga akan mengunggulkan
umat ini di lapangan ekonomi pasar jaman ini.
Yang pertama adalah menyadarkan
umat ini bahwa alasan kita diciptakan oleh Allah hanyalah agar kita mengabdi
kepadaNya semata. “Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS 51:56).
Karena kita diciptakanNya hanya
untuk beribadah kepadaNya semata, maka seluruh aspek kehidupan kita adalah
dalam konteks ibadah. Dari sinilah kemudian muncul konsep bekerja juga
merupakan ibadah, konsep ini pula yang kemudian membangun etos kerja yang kuat
bagi para Sahabat beliau baik kaum Muhajirin maupun Anshar.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam terus mendorong etos kerja para sahabatnya seperti sabda beliau: “Tidak
ada seorang yang memakan suatu makananpun yang lebih baik dari makanan hasil
usaha tangannya sendiri. Dan sesungguhnya nabi Allah Daud Alaihi Salam memakan
makanan dari hasil usahanya sendiri” (Shahih Bukhari)
Kemudian juga hadits : “ Tidaklah
seorang muslimpun yang bercocok tanaman atau menanam suatu tanaman lalu tanaman
itu dimakan burung atau manusia atau hewan melainkan itu menjadi shadaqah
baginya”. ( Shahih Bukhari)
Ini semua menjadi pemicu kerja
keras muslim yang kemudian menguasai segala bidang keahlian yang dibutuhkan
untuk membangun kekuatan ekonomi – tanpa terperdaya oleh kepentingan jangka
pendek duniawi semata.
Hal yang kedua adalah contoh
nyata yang diberikan langsung oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam
mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh umatnya. Kedhaliman dan
kesombongan yang berpusat di pasar yang dikuasai oleh Yahudi dalam contoh
tersebut di atas misalnya, mendorong Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk
survey langsung kondisi pasar-pasar pada umumnya dan langsung pula memberikan
solusinya.
“Diceritakan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pergi ke pasar Nabaith kemudian beliau
melihatnya dan bersabda : “Bukan seperti ini pasar kalian”. Kemudian beliau
pergi ke pasar lain lagi dan melihatnya, beliaupun bersabda : “Bukan seperti
ini pasar kalian”. Kemudian beliau kembali lagi ke pasar, beliau berputar
mengelilinginya dan bersabda : “Ini adalah pasar kalian, jangan dipersempit dan
jangan dibebani””. (Sunan Ibnu Majah, hadits no 2224).
Ada setidaknya tiga hal utama
yang menjadi pembeda antara pasar Yahudi dengan pasar kaum muslimin,
pertama pasar kaum muslimin tidak dipersempit (falaa yuntaqashanna),
kedua tidak dibebani dengan berbagi pungutan ( wa laa
yudhrabanna) dan ketiga adalah adanya pengawas pasar yang disebut
Muhtasib atau lembaganya disebut Al-Hisbah. Tiga hal inilah yang kemudian
selain menjadi pembeda juga menjadi motor penggerak kemajuan ekonomi umat Islam
saat itu.
Pasar yang tidak dipersempit
maksudnya adalah pasar yang tidak dikurangi luasnya dengan berbagai bangunan
yang menjadi hak orang-orang tertentu saja, umat yang kaya maupun yang miskin
harus mempunyai kesempatan yang sama untuk bisa berdagang di pasar. Tidak boleh
menghalangi orang yang akan masuk kepasar, tidak boleh pula mendorong orang
keluar dari pasar.
Pasar yang tidak dibebani
adalah agar tidak ada beban pajak ataupun pungutan-pungutan lain yang
memberatkan para pedagang. Agar para pedagang lebih banyak bisa memutar
hartanya, yang kemudian juga berarti memutar ekonomi secara luas. Meningkatkan
kemakmuran bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga masyarakat luas
melalui ekonomi yang berhasil diputarnya.
Sedangkan fungsi Al-Hisbah
adalah untuk menjaga agar syariat jual beli ditaati oleh seluruh pelaku pasar
sehingga keteraturan dan keadilan terjadi di pasar. Begitu pentingnya peran
pengawasan pasar ini sehingga di awal-awal perkembangan masyarakat Islam di
Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri yang terjun langsung
sebagi Muhtasib mengawasi pasar. Baru belakangan tugas ini diteruskan oleh Umar
bin Khattab (yang mulai mengawasi pasar bahkan ketika Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam masih hidup) dan kemudian diikuti oleh khalifah-khalifah
sesudahnya.
Pertanyaan berikutnya adalah,
lantas hal konkrit apa yang bener-bener bisa kita lakukan di jaman ini untuk
bisa mengembalikan kejayaan umat ini – seperti umat Islam di Madinah pasca
Hijrahnya Nabi dan kaum Muhajirin kesana ?
Dahulu orang-orang Arab Madinah
pra hijrahnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, terpuruk dan terbelenggu
ekonominya oleh penguasaan pasar dan praktek ribawinya Yahudi. Kemudian
dibebaskan dan diunggulkan dengan tauhid yang sempurna, bahkan sampai
bekerja-pun dalam konteks ibadah. Juga dilengkapi dengan contoh amal
nyata yang dibutuhkan sesuai jamannya – yaitu antara lain penyiapan pasar bagi
kaum muslimin yang menjadi akses kemakmuran bagi umat yang luas.
Maka saat inipun tetap relevan
bagi umat yang hidup di jaman ini untuk mencontoh langsung solusi yang
diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut di atas.
Kita perlu menanamkan makna
yang lebih tinggi dalam seluruh aktivitas kita sehari-hari, termasuk ketika
kita bekerja, bertani maupun berdagang. Bahwa ini semua adalah semata hanya
dalam konteks beribadah kepadaNya.
Ibadah inipun kemudian perlu
dilengkapi dengan amal nyata yang menjadi solusi jaman ini. Bila prakteknya
pasar yang ada kini tidak satupun yang memenuhi syarat falaa
yuntaqashanna walaa yudrabanna, sedangkan pasar yang seperti ini sangat
dibutuhkan agar umat ini bisa memenuhi kebutuhannya secara adil, tidak
terdholimi dan terlecehkan oleh (system) Yahudi atau sejenisnya – maka sesuatu
yang dibutuhkan umat ini menjadi fardhu kifayah bagi pemimpin
negeri ini atau orang yang mampu untuk menyediakannya.
Kami sudah pernah mencoba
menghadirkan pasar yang memenuhi kriteria falaa yuntaqashanna, dalam
bentuk pasar fisik Bazaar Madinah di Depok. Kendalanya adalah sangat sulit
mencontoh pasar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut di atas karena dari
sisi ukuran saja, pasar Nabi yang luasnya sekitar 5 ha (500 m x 100 m) – agar
bisa menampung semua orang yang perlu datang ke pasar – perlu kekuatan besar
untuk pengadaannya.
Di tempat-tempat strategis di sekitar
Jabodetabek, dibutuhkan dana yang luar biasa besar untuk menghadirkan pasar
fisik yang bisa menampung semua orang tersebut. Bila di Jaman Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam saja dibutuhkan 5 ha pasar, bisa dibayangkan berapa luasan
pasar yang kita butuhkan sekarang agar semua orang punya akses pasar yang sama
?.
Di pasar fisik jaman ini,
kriteria walaa yudrabanna juga ternyata tidak mudah
diterapkan. Dana untuk sekedar mengelola kebersihan dan keamanan-pun ternyata
perlu ijtihad tersendiri.
Walhasil exercise pertama kami
untuk menghadirkan pasar fisik yang memenuhi kriteria falaa
yuntaqashanna walaa yudrabanna tidak begitu berhasil, rencana copy
paste-nya ke daerah-daerah lain lebih terkendala lagi implementasinya
karena kembali terbentur dua hal tersebut di atas yaitu modal awal untuk
pengadaan lahan dan biaya pengoperasiannya.
Namun Subhanallah kebenaran
Islam itu terbukti untuk sepanjang jaman. Di jaman modern dengan harga tanah
selangit seperti sekarang ini, ternyata pasar fisik yang memenuhi
kriteria falaa yuntaqashanna walaa yudrabanna
sepenuhnya-pun dapat diwujudkan dengan bantuan teknologi, dan tidak
perlu membutuhkan dana yang terlalu besar. Asal mau saja, setiap muslim bisa
terlibat dalam pengadaaan pasar bagi umat ini.
Pasar atau tempat bertemunya
penjual dan (calon) pembeli bisa dibantu dengan teknologi, untuk kemudian
mereka bertemu dan bertransaksi secara fisik di tempat atau lokasi yang
disepakati bersama. Bisa pembeli datang ke penjual atau sebaliknya.
Konsep inilah yang kemudian
telah kami konkritkan menjadi project Location Based Marketplace yang
kami sebut lastfeet.com dan sudah mulai kami
perkenalkan kepada para pembaca melalui tulisan kami kemarin (04/11/13). Dalam
momentum tahun baru Hijriyah 1 Muharram 1435 ini, selain introduksi dalam
tulisan kemarin, tulisan ini hari ini, insyaAllah masih akan ada serangkain
tulisan lain yang akan memperjelas dan membumikan konsep Hijrah Ekonomi itu.
Untuk mengunggulkan umat ini,
contoh konkrit solusinya begitu jelas datang dari Uswatun Hasanah kita. Prinsip
dasar solusinya tetap sama yaitu aqidah yang kemudian antara lain melahirkan
amal shaleh yang sesuai dengan kebutuhan jamannya. Tools-nya saja
yang bisa berbeda sesuai jamannya, bila dahulu pasar fisik itu ya bener-bener
fisik dari ujung ke ujung. Kini pasar fisik itu bisa tetap fisik transaksinya
sehingga seluruh syariat jual beli bisa dilaksanakan secara sempurna seperti
adanya khiyar-nya dlsb., namun pertemuannya antara penjual dan
pembeli bisa saja difasilitasi atau diperkenalkan melalui teknologi.
Lantas siapa yang menjadi
Muhtasib dan mengawasi perdagangan modern seperti dalam Lastfeet ini ? Di
negeri ini memang sudah banyak yang mengawasi pasar berupa departemen,
institusi maupun dinas-dinas di pemerintahan daerah. Namun tidak ada yang
mengawasinya terkait dengan ketaatan terhadap syariat. Riba misalnya
jelas-jelas melanggar syariat, tetapi tidak ada satupun institusi
pengawas pasar negeri ini yang menindak pelaku riba.
Maka pengelola lastfeet.com akan
berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menjaga – agar tidak ada pelanggaran
syariat di dalam transaksi yang difasilitasi oleh Lastfeet ini. Didalam
ketentuan layanannya misalnya ada pasal yang berbunyi : “Para pengguna situs ini langsung maupun tidak langsung DILARANG
KERAS untuk memanfaatkan system yang ada di Lastfeet.com untuk kegiatan-kegiatan yang
melanggar hukum, melanggar ketata-susilaan, norma agama, adat –istiadat,
berbuat kecurangan, menipu, menjual produk yang terlarang baik oleh hukum positif ataupun oleh
Agama maupun kegiatan lain yang melanggar kepentingan orang lain.
Pengelola Lastfeet.comsepenuhnya
berhak menghentikan layanan apabila disinyalir pengguna mengggunakan untuk
kegiatan yang DILARANG tersebut. Penghentian layanan ini tidak memerlukan
pembuktian tertentu, namun pengguna yang merasa dirugikan dapat meminta untuk
diaktifkan kembali layananannya apabila dia berhasil membuktikan sebaliknya
bahwa kegiatannya tidak termasuk yang DILARANG”.
Jadi dengan bantuan teknologi
seperti yang antara lain sudah kami siapkan di lastfeet.com ini Andapun
insyaAllah bisa menghadirkan Pasar Madinah itu di lingkungan Anda
masing-masing. Anda bisa menjadi stilumalator kebangkitan ekonomi umat dalam
upaya membebaskan umat dari kedhaliman, ketidak adilan pasar dan dari lilitan
ekonomi kapitalisme ribawi – yang telah membelenggu umat-umat di dunia hampir
seabad terakhir ini.
Kondisi yang dihadapi umat ini
saat ini hanya bisa diperbaiki dengan cara sebagaimana umat ini dahulu
diperbaiki. Maka bila masyarakat Madinah bisa diperbaiki dari keterpurukan
menjadi masyarakat pemenang dan masyarakat pembebas dunia pasca terjadinya
Hijrah, dengan fondasi tauhid yang sama dan amal Islami yang mencontoh petunjuk
yang sama – mestinya umat di jaman inipun bisa diunggulkan kembali. InsyaAllah.
No comments:
Post a Comment