Reformasi merupakan suatu perubahan
tatatan perikehidupan lama ke tatanan perikehidupan baru yang lebih baik.
Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 merupakan suatu
gerakan yang bertujuan untuk melakukan perubahan dan pembaruan, terutama
perbaikan tatanan perikehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan
sosial. Dengan demikian, gerakan reformasi telah memiliki formulasi atau
gagasan tentang tatanan perikehidupan baru menuju terwujudnya Indonesia baru.
Gerakan reformasi merupakan sebuah
perjuangan karena hasil-hasilnya tidak dapat dinikmati dalam waktu yang
singkat. Hal ini dapat dimaklumi karena gerakan reformasi memiliki agenda
pembaruan dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, semua agenda reformasi
tidak mungkin dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan dan dalam waktu yang
singkat.
Agar agenda reformasi dapat dilaksanakan
dan berhasil dengan baik, maka perlu disusun strategi yang tepat, seperti:
a.
Menetapkan prioritas, yaitu menentukan aspek mana yang harus direformasi lebih
dahulu dan aspek mana yang direformasi kemudian.
b.
Melaksanakan kontrol agar pelaksanaan reformasi dapat mencapai tujuan dan
sasaran secara tepat.
Reformasi yang tidak terkontrol akan
kehilangan arah, dan bahkan cenderung menyimpang dari norma-norma hukum. Dengan
demikian, cita-cita reformasi untuk memperbaiki kehidupan masyarakat Indonesia
akan gagal. Persoalan pokok yang mendorong atau menyebabkan lahirnya gerakan
reformasi adalah kesulitan warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok. Harga-harga
sembilan bahan pokok (sembako), seperti beras, terigu, minyak goreng, minyak
tanah, gula, susu, telur, ikan kering, dan garam mengalami kenaikan yang
tinggi. Bahkan, warga masyarakat harus antri untuk membeli sembako itu.
Sementara, situasi politik dan kondisi
ekonomi Indonesia semakin tidak menentu dan tidak terkendali. Harapan
masyarakat akan perbaikan politik dan ekonomi semakin jauh dari kenyataan.
Keadaan itu menyebabkan masyarakat Indonesia semakin kritis dan tidak percaya
terhadap pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu
menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam
keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, tujuan lahirnya
gerakan reformasi adalah untuk memperbaiki tatanan perikehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Sebab-sebab Lahirnya Reformasi
Kesulitan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan pokok merupakan faktor atau penyebab utama lahirnya gerakan
reformasi. Namun, persoalan itu tidak muncul secara tiba-tiba. Banyak faktor
yang mempengaruhinya, terutama ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi,
dan hukum. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32
tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan cita-cita Orde
Baru. Pada awal kelahirannya tahun 1966, Orde Baru bertekad untuk menata
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Masih ingatkah kamu akan pengertian Orde Baru? Namun dalam
pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru banyak melakukan penyimpangan terhadap
nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945 yang
sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan, Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan
legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan. Penyimpangan-penyimpangan itu
melahirkan krisis multidimensional yang menjadi penyebab umum lahirnya gerakan
reformasi, seperti:
a. Krisis politik
Krisis politik yang terjadi pada tahun
1998 merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai
kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu dengan alasan
dalam kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi
adalah dalam rangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan
kroni-kroninya. Artinya, demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru
bukan demokrasi yang semestinya, melainkan demokrasi rekayasa. Dengan demikian,
yang terjadi bukan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk rakyat,
melainkan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa. Pemerintahan
Orde Baru selalu melakukan intervensi terhadap kehidupan politik. Misalnya,
ketika Kongres Partai Demokrasi Indonesia (PDI) memilih Megawati Soekarnoputri
sebagai ketua partai, sedangkan pemerintahan Suharto menunjuk Drs. Suryadi sebagai
ketua PDI. Kejadian itu mengakibatkan keadaan politik dalam negeri mulai
memanas. Namun, pemerintahan Orde Baru yang didukung Golongan Karya (Golkar)
merasa tidak bersalah.
Keadaan itu sengaja direkayasa oleh
pemerintah dalam rangka memenangkan pemilihan umum secara mutlak seperti
tahun-tahun sebelumnya. Rekayasa-rekayasa politik terus dibangun oleh
pemerintah Orde Baru sehingga pasal 2 UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Pasal 2 UUD 1945 berbunyi bahwa: ‘Kedaulatan ada di tangan
rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat’. Namun
dalam kenyataannya, kedaulatan ada di tangan sekelompok orang tertentu. Anggota
MPR sudah diatur dan direkayasa sehingga sebagian besar anggota MPR itu
diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme). Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila anggota MPR/DPR terdiri dari para istri, anak, dan kerabat
dekat para pejabat negara. Keadaan itu mengakibatkan munculnya rasa tidak
percaya masyarakat terhadap institusi pemerintah, MPR, dan DPR.
Ketidakpercayaan itulah yang menyebabkan
lahirnya gerakan reformasi yang dipelopori para mahasiswa dan didukung oleh
para dosen maupun kaum cendekiawan. Mereka menuntut agar segera dilakukan
pergantian presiden, reshuffle kabinet, menggelar Sidang Istimewa MPR, dan
melaksanakan pemilihan umum secepatnya. Gerakan reformasi menuntut untuk
melakukan reformasi total dalam segala bidang kehidupan, termasuk keanggotaan
MPR dan DPR yang dipandang sarat KKN.
Di samping itu, gerakan reformasi juga menuntut
agar dilakukan pembaruan terhadap lima paket Undang-Undang Politik yang
dianggap sebagai sumber ketidakadilan (lihat dalam bok di bawah ini). Keadaan
partaipartai politik dan Golkar dianggap tidak mampu menampung dan
memperjuangkan aspirasi masyarakat Indonesia. Pembangunan nasional selama
pemerintahan Orde Baru dipandang telah gagal mewujudkan kehidupan masyarakat
yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Bahkan, pembangunan
nasional mengakibatkan terjadinya ketimpangan politik, ekonomi, dan sosial.
Krisis politik semakin memanas, setelah terjadi peristiwa kelabu pada tanggal
27 Juli 1996. Peristiwa itu sebagai akibat pertikaian internal dalam tubuh PDI.
Kelompok PDI pimpinan Suryadi menyerbu kantor pusat PDI yang masih ditempati
oleh PDI pimpinan Megawati. Peristiwa itu menimbulkan kerusuhan yang membawa
korban, baik kendaraan, rumah, pertokoan, perkantoran, dan korban jiwa. Pada
dasarnya, peristiwa itu merupakan ekses dari kebijakan dan rekayasa politik
yang dibangun pemerintahan Orde Baru
Pada masa Orde Baru, kehidupan politik
sangat represif, yaitu adanya tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap pihak
oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik yang
represif, di antaranya:
1) Setiap orang atau kelompok yang mengkritik
kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan subversif (menentang Negara
Kesatuan Republik Indonesia).
2) Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang
melahirkan demokrasi semu atau demokrasi rekayasa.
3) Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN) yang merajalela dan masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk
mengontrolnya.
4) Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung
kebebasan setiap warga negara (sipil) untuk ikut berpartisipasi dalam
pemerintahan.
5) Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak
terbatas. Meskipun Suharto dipilih menjadi presiden melalui Sidang Umum MPR,
tetapi pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis.
Sepanjang tahun 1996, telah terjadi
pertikaian sosial dan politik dalam kehidupan masyarakat. Kerusuhan terjadi di
mana-mana, seperti pada bulan Oktober 1996 di Situbondo (Jatim), Desember 1996
di Tasikmalaya (Jabar) dan di Sanggau Ledo yang meluas ke Singkawang dan
Pontianak (Kalbar). Ketegangan politik terus berlanjut sampai menjelang Pemilu
Tahun 1997 yang berubah menjadi konflik antar etnik dan agama. Pada bulan Maret
1997, terjadi kerusuhan di Pekalongan (Jateng) yang meluas ke seluruh wilayah
Indonesia. Bahkan, kerusuhan di Banjarmasin meminta korban jiwa yang tidak
sedikit jumlahnya. Keadaan itulah yang ikut mendorong lahirnya gerakan
reformasi. Kekecewaan rakyat semakin memuncak ketika semua fraksi di DPR/MPR
mendukung pencalonan Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan 1998- 2003.
Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998, Suharto terpilih sebagai Presiden RI
dan B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden untuk masa jabatan 1998- 2003. Bahkan,
MPR menetapkan beberapa ketetapan yang memberikan kewenangan khusus kepada
presiden untuk mengendalikan negara. Semua itu tidak dapat dipisahkan dari
komposisi keanggotaan MPR yang lebih mengarah pada hasil-hasil nepotisme.
Misalnya, menangkap orang-orang yang dianggap membahayakan kekuasaannya,
pembentukkan Tim Penembak Khusus (Petrus), pembentukkan dewan-dewan untuk
kepentingan kekuasaannya, dan sebagainya. Kekecewaan masyarakat terus bergulir
dan berusaha menekan kepemimpinan Presiden Suharto melalui berbagai
demonstrasi. Para mahasiswa, anggota LSM, cendekiawan semakin marah ketika
beberapa aktivitis ditangkap oleh aparat keamanan. Gerakan reformasi tidak
dapat dibendung dan dipandang sebagai satu-satunya jawaban untuk menata
kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik.
b. Krisis hukum
Rekayasa-rekayasa yang dibangun
pemerintahan Orde Baru tidak terbatas pada bidang politik. Dalam bidang
hukumpun, pemerintah melakukan intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan harus
dilaksanakan untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani
masyarakat dengan penuh keadilan. Bahkan, hukum sering dijadikan alat
pembenaran para penguasa. Kenyataan itu bertentangan dengan ketentuan pasa 24
UUD 1945 yanf menyatakan bahwa ‘kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan
terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif)’. Sejak munculnya gerakan
reformasi yang dimotori para mahasiswa, masalah hukum telah menjadi salah satu
tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar
setiap persoalan dapat ditempatkan pada posisinya secara proporsional.
Terjadinya ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat, salah satunya disebabkan
oleh sistem hukum atau peradilan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, para mahasiswa menuntut agar reformasi di bidang hukum
dipercepat pelaksanaannya. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah
pilar terwujudnya kehidupan yang demokratis, sekaligus sebagai wahana untuk
mengadili seseorang sesuai dengan kesalahannya.
c. Krisis ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara-negara
Asia Tenggara sejak Juli 1996 mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia.
Ternyata, ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global yang melanda
dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar
rupiah turun dari Rp 2,575.oo menjadi Rp 2,603.oo per dollar Amerika Serikat.
Pada bulan Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat
turun menjadi Rp 5,000.oo per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai
tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.oo per
dollar Melemahnya nilai tukar rupaih mengakibatkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi 0% dan iklim bisnis semakin bertambah lesu. Kondisi moneter
Indonesia mengalami keterpurukan dan beberapa bank harus dilikuidasi pada akhir
tahun 1997. Untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan mengeluarkan Kredit Likuiditas
Bank Indonesia (KLBI).
Ternyata, usaha pemerintah itu tidak
dapat memberikan hasil karena pinjaman bank-bank bermasalah justru semakin
besar. Keadaan di atas mengakibatkan pemerintah harus menanggung beban hutang
yang sangat besar dan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia
semakin menurun dan gairah investasi pun semakin melemah. Akibatnya, pemutusan
hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana. Angka penganggguran pun terus
meningkat dan daya beli masyarakat terus melemah. Kesenjangan ekonomi yang
telah terjadi sebelumnya semakin melebar seiring dengan terjadinya krisis
ekonomi. Kondisi perekonomian nasional semakin memburuk pada akhir tahun 1997
sebagai akibat persediaan sembako semakin menipis dan menghilang dari pasar.
Akibatnya, harga-harga sembako semakin tinggi. Kekurangan makanan dan kelaparan
melanda beberap wilayah Indonesia, seperti di Irian Barat (Papua), Nusa
Tenggara Timur, dan beberapa daerah di pulau Jawa. Untuk mengatasi persoalan
itu, pemerintah meminta bantuan kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Namun,
bantuan dana dari IMF belum dapat direalisasikan. Padahal, pemerintah Indonesia
telah menandatangani 50 butir kesepahaman, Letter of Intent (LoI) pada tanggal
15 Januari 1998.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia
tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti:
1) Hutang Luar Negeri Indonesia. Hutang luar
negeri Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi.
Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapi sangat besar
pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi. Sampai bulan
Februari 1998, sebagaimana disampaikan Radius Prawiro pada Sidang Pemantapan
Ketahanan Ekonomi yang dipimpin Presiden Suharto di Bina Graha, hutang
Indonesia telah mencapai 63,462 dollar Amerika Serikat, sedangkan hutang swasta
mencapai 73,962 dollar Amerika Serikat.
2) Pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945. Pemerintah
Orde Baru ingin menjadikan negara RI sebagai negara industri. Keinginan itu
tidak sesuai dengan kondisi nyata masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia
merupakan sebuah masyarakat agraris dengan tingkat pendidikan yang sangat
rendah (rata-rata). Oleh karena itu, mengubah Indonesia menjadi negara industri
merupakan tugas yang sangat sulit karena masyarakat Indonesia belum siap untuk
bekerja di sektor industri. Itu semua merupakan kesalahan pemerintahan Orde
Baru karena tidak dapat melaksanakan pasal 33 UUD 1945 secara konsisten dan
konsekuen.
3) Pemerintahan Sentralistik. Pemerintahan Orde
Baru sangat sentralistik sifatnya sehingga semua kebijakan ditentukan dari
Jakarta. Oleh karena itu, peranan pemerintah pusat sangat menentukan dan
pemerintah daerah hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Misalnya,
dalam bidang ekonomi, di mana semua kekayaan diangkut ke Jakarta sehingga
pemerintah daerah tidak dapat mengembangkan daerahnya. Akibatnya, terjadilah
ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah. Keadaan itu mempersulit Indonesia
dalam mengatasi krisis ekonomi karena daerah tidak tidak mampu memberikan
kontribusi yang memadai.
d. Krisis sosial
Krisis politik, hukum, dan ekonomi
merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik yang represif
dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik politik maupun konflik
antar etnis dan agama. Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di
beberapa daerah. Pelaksanaan hukum yang berkeadilan sering menimbulkan
ketidakpuasan yang mengarah pada terjadinya demonstrasi-demonstrasi maupun
kerusuhan. Sementara, ketimpangan perekonomian Indonesia memberikan sumbangan
terbesar terhadap krisis sosial. Pengangguran, persediaan sembako yang
terbatas, tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya beli masyarakat
merupakan faktor-faktor yang rentan terhadap krisis sosial. Krisis sosial dapat
terjadi di mana-mana tanpa mengenal waktu dan tempat. Tingkat pendidikan
masyarakat yang rendah dapat menjadi faktor penentu karena sebagian besar warga
masyarakat tidak mampu mengendalikan dirinya. Sementara, para mahasiswa dan
para cendekiawan dengan kemampuannya dapat mengkritisi berbagai kebijakan
pemerintah. Untuk itu, salah satu jalan yang sering ditempuh adalah melakukan
demonstrasi secara besar-besaran. Semangat para mahasiswa telah mendorong para buruh,
petani, nelayan, pedagang kecil untuk melakukan demonstrasi. Semua itu
merupakan sumber krisis sosial. Demonstrasi-demonstrasi yang tidak terkendali
mengakibatkan kehidupan di perkotaan diliputi kecemasan, rasa takut, tidak
tenteram dan tenang. Situasi yang tidak terkendali telah mendorong sebagian
masyarakat, terutama dari etnis Cina untuk memilih pergi ke luar negeri dengan
alasan keamanan.
e. Krisis kepercayaan
Krisis multidimensional yang melanda
bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan
Presiden Suharto. Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan politik
yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan
pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan
krisis kepercayaan. Demonstrasi bertambah gencar dilaksanakan oleh para
mahasiswa, terutama setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan
ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi mahasiswa terjadi pada
tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang
berlangsung secara damai telah berubah menjadi aksi kekerasan, setelah
tertembaknya empat orang mahasiswa, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hendriawan
Lesmana, Heri Hertanto, dan Hafidhin Royan. Sedangkan para mahasiswa yang
menderita luka ringan dan luka parah pun tidak sedikit jumlahnya, setelah
bentrok dengan aparat keamanan yang berusaha membubarkan para demonstran.
Pada waktu tragedi Trisakti terjadi,
Presiden Suharto sedang menghadiri KTT G-15 di Kairo, Mesir. Masyarakat
menuntut Presiden Suharto sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan bertanggung
jawab atas tragedi tersebut. Pada tanggal 15 Mei 1998, Presiden Suharto kembali
ke Tanah Air dan masyarakat menuntut agar Presiden Suharto mengundurkan diri.
Bahkan, beberapa kawan terdekatnya mendesak agar Presiden Suharto segera
mengundurkan diri. Dengan demikian, tuntutan pengunduran diri itu tidak hanya
datang dari para mahasiswa dan para oposisi politiknya. Kunjungan para
mahasiswa ke gedung DPR/MPR yang semula untuk mengadakan dialog dengan para
pimpinan DPR/MPR telah berubah menjadi mimbar bebas. Para mahasiswa lebih
memilih tetap tinggal di gedung wakil rakyat itu, sebelum tuntutan reformasi
total dipenuhinya. Akhirnya, tuntutan mahasiswa tersebut mendapat tanggapan
dari Harmoko sebagai pimpinan DPR/MPR. Pada tanggal 18 Mei 1998, pimpinan
DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden Suharto mengundurkan diri. Namun,
himbauan pimpinan DPR/MPR agar Presiden Suharto mengundurkan diri dianggap
sebagai pendapat pribadi oleh pimpinan ABRI.
Oleh karena itu, ketidakjelasan sikap
elite politik nasional telah mengundang banyak mahasiswa untuk berdatangan ke
gedung DPR/MPR. Untuk menyikapi perkembangan yang terjadi, Presiden Suharto
mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat di
Jakarta. Kemudian, Presiden Suharto mengumumkan tentang pembentukan Dewan
Reformasi, perombakan Kabinet Pembangunan VII, segera melakukan Pemilu, dan
tidak bersedia dicalonkan kembali. Namun, usaha Presiden Suharto tersebut tidak
dapat dilaksanakan karena sebagian besar orang menolak untuk duduk dalam Dewan
Reformasi dan seorang menteri menyatakan mundur dari jabatannya. Keadaan itu
merupakan bukti bahwa Presiden Suharto telah menghadapi krisis kepercayaan,
baik dari para mahasiswa, aktivis LSM, pihak oposisi, para cendekiawan, tokoh
agama dan masyarakat, maupun dari kawankawan terdekatnya. Akhirnya, pada
tanggal 21 Mei 1998, Presiden Suharto menyatakan mengundurkan diri (berhenti)
sebagai Presiden RI dan menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden. Pada saat
itu juga Wakil Presiden B.J. Habibie diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung
sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana Negara.
Kronologi Reformasi
Secara garis besar, kronologi gerakan
reformasi dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Sidang Umum MPR (Maret 1998) memilih Suharto
dan B.J. Habibie sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI untuk masa jabatan
1998-2003. Presiden Suharto membentuk dan melantik Kabinet Pembangunan VII.
Kondisi kehidupan bangsa dan negara tidak kunjung membaik. Perekonomian
nasional semakin memburuk dan masalah-masalah sosial semakin menumpuk. Keadaan
itu menimbulkan keprihatinkan dan kekhawatiran rakyat Indonesia.
b. Pada bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai
daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut
penurunan harga barang-barang kebutuhan (sembako), penghapusan KKN, dan
mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan. Semakin bertambahnya para mahasiswa
yang melakukan demonstrasi menyebabkan aparat keamanan kewalahan dan terjadilah
bentrok antara para mahasiswa dan aparat keamanan.
c. Pada tanggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk
rasa mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta telah terjadi bentrokan dengan
aparat keamanan yang menyebabkan empat orang mahasiswa (Elang Mulia Lesmana,
Hery Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan Hendriawan Sie) tertembak hingga tewas
dan puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka-luka. Kematian empat mahasiswa
tersebut mengobarkan semangat para mahasiswa dan kalangan kampus untuk
menggelar demonstrasi secara besar-besaran.
d. Pada tanggal 13-14 Mei 1998, di Jakarta dan
sekitarnya terjadi kerusuhan massal dan penjarahan sehingga kegiatan masyarakat
mengalami kelumpuhan. Dalam peristiwa itu, puluhan toko dibakar dan isinya
dijarah, bahkan ratusan orang mati terbakar.
e. Pada tanggal 19 Mei 1998, para mahasiswa dari
berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki gedung
MPR/DPR. Pada saat yang bersamaan, tidak kurang dari satu juta manusia
berkumpul di alun-alun utara Keraton Yogyakarta untuk menghadiri pisowanan
agung, guna mendengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri
Paku Alam VII. Inti isi maklumat tersebut adalah ‘anjuran kepada seluruh
masyarakat untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa’.
f. Pada tanggal 19 Mei 1998, Harmoko sebagai
pimpinan MPR/DPR mengeluarkan pernyataan berisi ‘anjuran agar Presiden Suharto
mengundurkan diri’.
g. Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Suharto
mengundang tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk dimintai
pertimbangan dalam rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh
Presiden Suharto. Namun, usaha itu mengalami kegagalan karena sebagian
tokohtokoh yang diundang menolak untuk duduk dalam Dewan Reformasi itu. Sementara,
mahasiswa di gedung DPR/MPR tetap menuntut Suharto turun dari kursi
kepresidenan.
h. Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di
Istana Negara, Presiden Suharto meletakkan jabatannya sebagai Presiden RI di
hadapan Ketua dan beberapa anggota Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 8 UUD
1945, kemudian Suharto menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J.
Habibie sebagai Presiden RI. Pada waktu itu juga B.J. Habibie dilantik menjadi
Presiden RI oleh Ketua MA.